Jumat, 22 Juli 2011

Sebuah akhir dari kata maaf

Mungkin sore ini adalah sore terakhir aku dan dia bertemu. Sore terakhir dimana kami masih bisa menikmati senja di cafe seno. Satu cangkir coklat hangat yang mulai habis dan satu cangkir kopi yang mulai mendingin seakan ikut berbicara tentang kesunyian hati kami berdua

"Maafkan aku, jika sore ini menjadi sore akhir kita," ucap ku singkat dengan tatapan mata kosong dan jemari yang menari di pinggiran cangkir coklat hangat.

Entah berapa lama, hingga mucul rembulan malam, tidak ada tanggapan dari lelaki yang telah ku kenal lama dan bersama kami mengerti dan belajar bahwa cinta murni dari kedua belah pihaklah yang tidak pernah kami rasakan.

"Aku duluan, rumah dikunci saja, tidak perlu menunggu aku tiba di rumah," katanya sambil berdiri dan mencium keningku.

Tak perlu menunggu rembulan ditelan awan kelam, aku pun segera beranjak dari cafe seno dan menuju kasir.

Dalam perjalanan, aku lega, ketika sore itu adalah sore terakhir aku merasakan kecupan di kening yang tak pernah aku bisa membalas kecupuan dengan kehangatan dan cinta yang sama. Sore itu, aku merasa, tidak akan ada lagi, yang ada sore dimana aku bisa menjadi aku sendiri dan menikmati malam tanpa harus memikirkan dia disampingku.

Meski belum ada keputusan, namun setidaknya peran ku tidak lagi mengganda, aku hanya sebagai ibu dari anak-anak. Dan sejak itu, sore hari akan kami nikmati dengan rasa kami sendiri.
Terdengar berat, terlihat sukar, tapi itu adalah pilihan dari sebuah pilihan yang ternyata selama ini kurang tepat.

sampai bertemu sore ku
sampai bertemu di dunia yang berbeda
sampai bertemu di taman yang sama bersama anak-anak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar