Jumat, 19 November 2010

Obrolan bersama teman wanita

Siang itu, saya dan teman wanita saya dikantor, makan di luar kantor. Ya, seperti biasa, bosan dengan makanan dikantor atau memang butuh udara segar alias cuci mata. Dan memang saya kebetulan ingin membeli hadiah. Jadilah saya dan teman wanita saya berjalan ke mal yang dekat kantor.

Karena memang tidak niat belanja banyak...hahaha jadi saya tidak terlalu lama mencari barang yang saya inginkan. Selain itu perut kami pun sudah mulai berbunyi. Ya ya ya artinya memang kami harus mengisi perut. Makan siang ditengah uang juga pas-pasnya tetapi selera tinggi, kami memilih sebuah resto yang terlihat cozy dan ada menu soto ayam yang panas.

Sambil menunggu pesanan kami datang, obrolan ringan seputar rumah tangga dan anak mengalir ringan saja. Kebetulan saya dan teman wanita saya adalah tipe wanita tegas, wanita yang serba bisa dan mandiri. Wanita tangguh, wonder women begitu julukan dari suaminya untuk saya, kalau ia sedang kesal dengan kemandirian saya.

Cerita pun mengalir, dari kerinduan kami berdua, untuk hang out, makan di resto yang enak, layaknya seperti kami ketika single bisa makan di sini, makan di sana, icip restoran A, restoran B...dan setelah menikah punya anak, rasanya kegiatan itu jauh dari pandangan kami.

Bukan karena materi saja yang menjadi alasan, alias terlalu boros bila harus setiap minggu hunting resto, tapi dibalik itu, alasan anak menjadi satu hal yang tidak bisa lepas. Menurut teman wanita saya, sedih rasanya bila seorang ibu bisa menikmati makanan ini itu tapi tidak bersama anak. Rasanya tidak lengkap. Bagaimana dengan saya? Mm...saya setuju dengan hal itu. Memang benar, sejak punya anak, kalau sedang keliling mal, yang ada hanya ingin membelikan Janet ini itu, keinginan saya bukan lagi prioritas. Lewat sudah jaman mengejar diskon untuk sebuah sepatu cantik atau rela menghabiskan gaji satu bulan untuk membeli tas manis dengan label.

Obrolan pun semakin lebar dan kami sama-sama memahami, terkadang menjadi wanita mandiri tidak selalu baik untuk sang nahkoda rumah tangga. Ada saatnya mungkin, kami sebagai wanita mandiri, bersikap lebih manja dan terlihat lemah, tidak mampu. Tapi baru terbersit beberapa detik saja, langsung dengan kompak kami, sepakat...terlihata lemah? duh bukan kita banget ya!!!
Sontak kami tertawa dan seakan kami mengiyakan bahwa itu benar.

Usia pernikahan saya dan teman wanita saya jauh, saya baru punya Janet usia 15 bulan, sedangkan dia sudah punya dua anak yang lucu dan sudah bersekolah. Tapi setidaknya dua wanita yang sedang bicara siang itu adalah dua wanita yang harus belajar untuk tidak selalu berdiri dengan kakinya sendiri. Setidaknya kemandirian dua wanita itu bisa dipahami oleh pasangan kami, bahwa kami tidak selamanya mampu dan tangguh. Kami pun perlu dipahami. Bukan segala sesuatu tergantung kami.

Tidak terasa, hampir jam2, sungguh tidak terasa. Obrolan dengan teman wanita memang mengasyikan apalagi bagi saya yang baru seumur jagung menjalani hidup berumah tangga. Masih panjang perjalanan dan kisah saya di depan. Setidaknya siang itu kami belajar, ada saatnya kami memang harus ditopang dan kalianlah yang berinisitif hai para pria.

Cinta adalah kekuatan
Toleransi adalah ruang tanpa batas
Cinta dan toleransi adalah kekutan tanpa batas ruang dan waktu
Kami, wanita sangat penuh dengan cinta dan tolerasni
Kami, wanita tidak selalu harus menjadi sumber inspirasi
Kami, wanita tidak selalu menjadi penyelsaian masalah ketika tidak ada pembantu, ketika si kecil masuk sekolah, atau ketika kas negara dalam rumah tangga dalam siaga 3
Kami, wanita hanyalah sumber kekuatan dengan cinta dan toleransi untuk kalian, lelaki yang menjadi pendamping seumur hidup kami.
Jadilah lelaki bukan pria

love you my husband

1 komentar:

  1. setujuuu... kita ada perempuan mandiri, tapi tetep ajah di rumah, kita bukan pemimpin. love this post, jeung :)

    BalasHapus